Parahyangan

        

Kata Parahyangan yang kemudian lebih sering disebut dengan “Priangan” pada prinsipnya menunjukan sebuah tempat, sebab jika kita menelusurinya melalui bahasa Sang Saka Kerta yang ditulis dalam aksara Palawa kata Parahyangan itu akan mengandung arti sebagai berikut. “Pa” artinya adalah tempat, sedangkan “Ra” adalah sinar dan kata “Hyang” mengandung arti “pemimpin yang agung”. Maka bila diartikan secara bebas arti kata Pa-Ra-Hyang itu adalah “Tempat-Sinar-Pemimpin yang Agung” atau “Tempat Pemimpin Agung yang Bersinar”.

Kata “para” dalam hal ini tidak berarti jamak, seperti pada kata “para hadirin, para pemirsa, para sahabat, dan seterunya.” Kata “para” secara umum digunakan juga untuk menunjukan tempat yang tinggi atau langit (para=langit, lihat dalam kata para-para atau langit-langit yang letaknya di bawah wuwungan yang artinya suwung atau kosong). Yang menyebabkan kata “Parahyang” kehilangan makna adalah ketika ia dituliskan dalam susunan dan bentuk kata “Para-hiang-an” lalu disingkat jadi “priangan”.

Pa-Ra-Hyang yang dimaksudkan pada dasarnya bukan ditujukan bagi kota Bandung secara menyeluruh, namun khusus bagi wilayah tempat lahirnya Salaka Domas dan Salaka Nagara, tepatnya disekitar Gn. Agung (Gunung Tangkuban Pa-Ra-Hu), maka dari itu kita mengenal daerah “Lamba Hyang atau Lembah Hyang atau LEMBANG”.

Tempat tersebut diyakini merupakan cikal bakal lahirnya konsep berkebangsaan dan ketatanegaraan diseluruh dunia yang di awali oleh Sang Hyang Watugunung Ratu Agung Manik Maya dengan misi “Mula Sarwa Stiwa Dani Kaya” (letaknya di sekitar Gunung Batu daerah Buka Nagara/Mula Nagara, Lembang). Kemudian dilanjutkan oleh Maharaja Resi Prabhu Sindhu-La-Hyang (Sang Hyang Tamblegmeneng) yang membangun padepokan Jambudwipa. kelak konsep ini dilanjutkan oleh Da-Hyang Su-Umbi (Galuh Kandiawati) dan Mulawarman atau Si Tumang (Resi Taruma Hyang), mereka mendirikan Taruma Nagara Desa. Pernikahan antara Da-Hyang Su-Umbi dengan Taruma Hyang melahirkan Panca Putra Dewa (Pandawa Putra) yang membawa misi Ajaran Dwipa (Dwipayana) maka terbentuklah: Jawa-dwipa, Swarna-dwipa, Simhala-dwipa, Waruna-dwipa, dan seterusnya hingga ke India.

Dari berbagai sumber 🙂

About baktikunegri

Lahir dan dibesarkan di Tuban, kota tua dan bersejarah dipesisir utara Jawa Timur. Sempat menuntut ilmu di jurusan antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Bandung dan menyelesaikan jenjang S-1 pada program studi Administrasi Niaga di kampus yang sama. Suami dari seorang wanita luar biasa dan pekerja keras bernama Tita Terista dan bapak dari dua orang gadis kecil, Gina Azka Salima da Azkia Sarah Qonita. Penggemar sastra kontemporer, kuliner dan Bis malam & pariwisata.

2 responses to “Parahyangan

  1. Keren, orang jawa yg memahami dn mencintai sunda, tanpa harus mengaku diirinya “pecinta” sunda

  2. Pecinta budaya kang, apapun etnisnya.

Tinggalkan komentar